OPTIMIS! MENYONGSONG PERTUMBUHAN EKONOMI
DARI BONUS DEMOGRAFI INDONESIA TAHUN 2030
DARI BONUS DEMOGRAFI INDONESIA TAHUN 2030
Penyusun Artikel:
Ragil Waseza. 2016. Optimis! Menyongsong Pertumbuhan Ekonomi dari Bonus Demografi Indonesia Tahun 2030. Artikel Kependudukan, Nominasi Lomba Blog Kependudukan Tahun 2013 dari Provinsi Jawa Tengah.
Ragil Waseza. 2016. Optimis! Menyongsong Pertumbuhan Ekonomi dari Bonus Demografi Indonesia Tahun 2030. Artikel Kependudukan, Nominasi Lomba Blog Kependudukan Tahun 2013 dari Provinsi Jawa Tengah.
Akhir-Akhir ini perbincangan mengenai bonus demografi
sering dilakukan oleh para akademisi dan birokrat level nasional yang mengurusi
masalah kependudukan. Seperti kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) hampir dalam setiap pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat
mengingatkan pentingnya kita menyiapkan diri menyongsong hadirnya bonus
demografi yang sudah didepan mata. Mengutip pernyataan Surya
Chandra Surapaty, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
bonus demografi diperkirakan bakal diraih Indonesia pada 2025-2030 (Rosana,
2015: http://www.antarasumsel.com/berita/297301/bkkbn-bonus-demografi-diraih-indonesia-2025-2030).
Bonus Demografi merupakan suatu kondisi yang
dialami oleh sebuah negara dimana struktur penduduk usia produktif (15–64
tahun) jauh lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia nun produktif yaitu
penduduk usia
muda (0–14 tahun) dan penduduk usia lanjut (>65 tahun). Dalam
kurun waktu tersbut, rasio Ketergantungan (dependency
ratio) akan mencapai titik terendah dalam sejarah Indonesia. Kondisi ini
memunculkan suatu kesempatan (the window
of opportunity) yang dapat dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi.
Bonus demografi adalah kesempatan untuk
menjadikan Indonesia lebih sejahtera karena pada masa itu jumlah penduduk usia
produktif mencapai 70 persen dari komposisi penduduk. Surya mengemukakan, pada tahun
2030 itu, jumlah penduduk usia produktif (15 - 64 tahun) diperkirakan jauh
lebih banyak dibandingkan dengan warga tidak produktif. Pada 2015, Indonesia
sejatinya telah memasuki gerbang bonus demografi karena komposisi penduduk saat
ini diketahui jumlah remaja mencapai 64 juta jiwa, jumlah balita 24 juta jiwa,
dan jumlah lansia 18-20 juta jiwa. Namun,
puncak bonus demografi ini diperkirakan terjadi pada 2028-2031 yakni saat 100
orang warga usia produktif menanggung 46,9 penduduk tidak produktif.
Menyimak pernyataan Presiden Jokowi dalam
pidatonya, Bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah,
jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila
kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik. Menurut Presiden Jokowi,
melimpahnya jumlah penduduk usia produktif itu merupakan modal besar untuk
menggenjot pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi di Indonesia (Arikunto, 2015: http://www.tribunnews.com/nasional/2015/08/01/bonus-demografi-harus-dikelola-dengan-tepat-agar-tidak-jadi-bencana).
Secara historis, tanda-tanda munculnya fenomena
bonus demografi di Indonesia dimulai pada awal 1990-an melalui keberhasilan
program Keluarga Berencana (KB). Program KB ini dilakukan atas dasar logika developmentalisme dengan asumsi bahwa
ketika populasi penduduk mengalami kelebihan kapasitas (overload), maka itu akan berimplikasi simetris dengan kemiskinan.
Hal ini berbeda dengan konsep keluarga berencana yang dilakukan di negara maju
yang lebih berorientasi pada pengendalian angka fertilitas. Kebijakan keluarga
berencana di negara berkembang diarahkan pada perhitungan ekonomi yang
diarahkan dalam rangka memajukan masyarakat agraris yang masih terbelakang.
Oleh karena itulah, dalam rangka memperbaiki kualitas hidup masyarakat sekaligus
pula mengurangi kemiskinan sehingga beban ekonomi negara berkurang, pertumbuhan
penduduk perlu dikekang. KB dimplementasikan ke tingkat desa melalui program
posyandu, imunisasi, dan vasektomi dengan memanfaatkan saluran korporatisme
negara, seperti PKK, HKTI, maupun Kelompencapir (Jati,
2015: 3).
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk
berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas
dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun. Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi yang
penting. Semakin tingginya persentase dependency
ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk
yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak
produktif lagi. Sedangkan persentase dependency
ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang
ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum
produktif dan tidak produktif lagi.
Mengamati gambar diatas, Dependency Ratio di Indonesia diprediksi memiliki nilai paling
rendah 46,9 pada tahun 2030. Setelah tahun 2030 beban ketergantungan penduduk
usia tua akan meningkat sehingga beban ketergantungan total akan naik kembali.
Diperkirakan bonus yang dapat disumbangkan oleh penduduk usia kerja akan
menjadi makin kecil karena harus menanggung beban ketergantungan penduduk usia
tua yang jumlahnya akan makin membengkak.
Jati (2015:
5) menyatakan Bonus
demografi harus dioptimalkan semaksimal mungkin demi pertumbuhan ekonomi melalui
investasi sumber daya manusia yang modern. Ledakan penduduk usia kerja ini akan
memberikan keuntungan ekonomi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut. 1) Penawaran
tenaga kerja (labor supply) yang besar
meningkatkan pendapatan per kapita jika mendapat kesempatan kerja yang
produktif. 2). Adanya peranan perempuan, yaitu jumlah anak sedikit memungkinkan
perempuan memasuki pasar kerja dan membantu peningkatan pendapatan. 3). Adanya
tabungan (savings) masyarakat yang
diinvestasikan secara produktif. 4). Modal manusia (human capital) yang berkualitas jika ada investasi untuk itu.
Bagi penulis, hal paling utama untuk
mengoptimalkan bonus demografi yaitu dengan mempersiapkan penduduk usia kerja melalui
human Capital yang berkualitas. Human capital Ini diperoleh kita peroleh
melalui pendidikan dan pengalaman. Teori human
capital memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin sehingga
seolah-olah manusia sama dengan mesin. Namun setelah teori ini semakin meluas,
maka human capital justru bisa
membantu pengambil keputusan di negara-negara yang masih berkembang untuk
memfokuskan pembangunan manusia yaitu menitikberatkan pada investasi pendidikan.
Setelah kita tahu pentingnya peningkatan human capital, Lalu bagaimana cara kita
meningkatkan human capital dalam diri
kita? Fachri (2010) menyatakan bahwa hal yang pertama dapat kita lakukan
untuk meningkatkan human Capital adalah
dengan meningkatkan kemampuan (skills)
kita dalam pekerjaan yang sedang kita geluti, tidak semata hard skills saja yang kita perdalam termasuk yang harus kita
benahi juga kemampuan soft skills kita. Alasannya karena dunia
kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak
hanya memiliki kemahiran hard skill
saja tetapi juga piawai dalam aspek soft
skill nya. Dunia pendidikan pun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian
di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft
skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar
20% oleh hard skill dan sisanya 80%
oleh soft skill.
Upaya lain yang harus kita tingkatkan dalam
pengembangan human capital ialah
fokus kepada pendidikan. Kita harus berupaya meningkatkan tingkat pendidikan
kita. Karena dalam teori human capital,
individu yang menjalani pendidikan yang tinggi tentu akan memberikan tingkat
pengembalian sosial yang tinggi. Pendidikan disini tentu tidak harus dengan
pendidikan formal saja tetapi pendidikan nonoformal pun akan mempunyai efek
positif bagi peningkatan human capital
kita.
Selanjutnya upaya lain peningkatan human capital kita peroleh melalui pengalaman.
Belajar dari pengalaman tentu merupakan mentor terbaik bagi peningkatan human capital, karena dengan pengalaman
mengajarkan secara langsung kepada kita permasalahan-permasalahan hidup yang
harus kita hadapi.
Peningkatan human
Capital merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk memanfaatkan
dampak positif dari bonus demografi tahun 2030. Peningkatan human capital pada usia produktif secara
bersama-sama berdampak pada meningkatnya tenaga kerja yang berkualitas yang
bisa dicapai melalui pendidikan dan pengalaman yang mereka miliki. Tenaga kerja dengan kualitas yang baik dibarengi dengan
peningkatan jumlah lapangan kerja dalam akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan produktifitas kerja. Pada akhirnya kita optimis
bahwa kondisi ini dalam jangka panjang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
Sumber bacaan dan referensi:
Arikunto, Indra. 2015. Bonus Demografi harus dikelola dengan tepat
agar tidak jadi bencana. http://www.tribunnews.com/nasional/2015/08/01/bonus-demografi-harus-dikelola-dengan-tepat-agar-tidak-jadi-bencana.
Diakses tanggal 9 Februari 2016 pukul 11.10
Fachri, Syaeful. 2010. Bagaimana cara meningkatkan human Capital?.
http://saeful-fachri.blogspot.co.id/2010/11/bagaimana-cara-meningkatkan-human.html.
Diakses tanggal 10 Februari 2016 pukul 19.10
Jati, Wasisto Raharjo. 2015. Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan
Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela Bencana Di Indonesia?. Jurnal:
Populasi, Volume 23 Nomor 1 2015.
Rosana, Dolly. 2015. BKKBN: Bonus Demografi diraih Indonesia 2025–2030.
http://www.antarasumsel.com/berita/297301/bkkbn-bonus-demografi-diraih-indonesia-2025-2030.
Diakses tanggal 9 Februari 2016 pukul 10.21
Artikel pertama untuk bulan Januari dalam kegiatan Motivator Muda Kependudukan. Semoga bermanfaat.
BalasHapus