Slider 1 mini Slider 2 mini

Minggu, 26 Juni 2016

HADAPI BONUS DEMOGRAFI DENGAN MINDSET MENJADI BOS

Filled under:

Penyusun Artikel: Ragil Waseza. 2016. Hadapi Bonus Demografi Dengan Mindset Menjadi Bos. Artikel Kependudukan, Nominasi Lomba Blog Kependudukan Tahun 2013 dari Provinsi Jawa Tengah.

Bonus Demografi merupakan suatu kondisi yang dialami oleh sebuah negara dimana struktur penduduk usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia muda dan lanjut. Dalam kurun waktu tersbut, rasio Ketergantungan (dependency ratio) akan mencapai titik terendah dalam sejarah Indonesia. Kondisi ini memunculkan suatu kesempatan (the window of opportunity) yang dapat dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi.
Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun. Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting. Semakin tingginya persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.


Mengamati gambar diatas, Dependency Ratio di Indonesia diprediksi memiliki nilai paling rendah 46,9 pada tahun 2030. Setelah tahun 2030 beban ketergantungan penduduk usia tua akan meningkat sehingga beban ketergantungan total akan naik kembali. Diperkirakan bonus yang dapat disumbangkan oleh penduduk usia kerja akan menjadi makin kecil karena harus menanggung beban ketergantungan penduduk usia tua yang jumlahnya akan makin membengkak.
Secara historis, tanda-tanda munculnya fenomena bonus demografi di Indonesia dimulai pada awal 1990-an melalui keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Program KB ini dilakukan atas dasar logika developmentalisme dengan asumsi bahwa ketika populasi penduduk mengalami kelebihan kapasitas (overload), maka itu akan berimplikasi simetris dengan kemiskinan. Hal ini berbeda dengan konsep keluarga berencana yang dilakukan di negara maju yang lebih berorientasi pada pengendalian angka fertilitas. Kebijakan keluarga berencana di negara berkembang diarahkan pada perhitungan ekonomi yang diarahkan dalam rangka memajukan masyarakat agraris yang masih terbelakang. Oleh karena itulah, dalam rangka memperbaiki kualitas hidup masyarakat sekaligus pula mengurangi kemiskinan sehingga beban ekonomi negara berkurang, pertumbuhan penduduk perlu dikekang. KB dimplementasikan ke tingkat desa melalui program posyandu, imunisasi, dan vasektomi dengan memanfaatkan saluran korporatisme negara, seperti PKK, HKTI, maupun Kelompencapir (Jati, 2015: 3).
Jati (2015: 5) menyatakan Bonus demografi harus dioptimalkan semaksimal mungkin demi pertumbuhan ekonomi melalui investasi sumber daya manusia yang modern. Ledakan penduduk usia kerja ini akan memberikan keuntungan ekonomi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut. 1) Penawaran tenaga kerja (labor supply) yang besar meningkatkan pendapatan per kapita jika mendapat kesempatan kerja yang produktif. 2). Adanya peranan perempuan, yaitu jumlah anak sedikit memungkinkan perempuan memasuki pasar kerja dan membantu peningkatan pendapatan. 3). Adanya tabungan (savings) masyarakat yang diinvestasikan secara produktif. 4). Modal manusia (human capital) yang berkualitas jika ada investasi untuk itu.
Dalam menghadapi bonus demografi, salah satu faktor seperti tenaga kerja tidak dapat dipandang sebelah mata. Jumlah angkatan kerja mulai dari tahun 1986 – 2013 selalu meningkat, namun sayangnya hal ini juga diikuti dengan meningkatnya jumlah pengangguran yang dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:


Berdasar grafik diatas, jumlah pengangguran di Indonesia selalu meningkat mulai dari tahun 1986-1999 sebesar 6,36% hingga pada periode tahun 2004-2013 peningkatan pengangguran mencapai 11,24 %. Tentu ini merupakan hal yang memprihatinkan jika terus berlanjut.


 Berdasarkan grafik diatas, justru angkatan kerja yang berpendidikan tinggi cenderung menganggur dibandingkan dengan angkatan kerja yang tidak menuntaskan bangku pendidikan tingkat dasar. Dengan kata lain Indonesia saat ini masih didominasi oleh pengangguran terdidik yang merupakan lulusan dari sekolah menengah hingga sekolah tinggi.
Besarnya pengangguran menjadi gambaran bahwa tenaga kerja di Indonesia belum sepenuhnya produktif dan terserap dalam lapangan pekerjaan. Jika terjadi bonus demografi ketika kita belum siap dengan lapangan pekerjaan, maka yang terjadi adalah ledakan pengangguran usia produktif. Ledakan pengangguran ini akan memicu berbagai persoalan diantaranya (Policy Brief, Direktorat Pemanduan Kebijakan Pengendalian Penduduk, 2013):
1.    Kriminalitas meningkat;
2.    Meningkatnya beban pemerintah dalam hal jaminan kesehatan dan sosial;
3.    Terjadi disparitas pendapatan yang cukup tajam antara SDM yang terampil dan yang tidak terampil;
4.    Meningkatnya persaingan dalam penguasaan Sumber Daya Alam antara rakyat dengan pemerintah; pemerintah pusat dengan pemerintah daerah; atau antar pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya.
Berbagai persoalan diatas adalah hal yang sebaiknya tidak terjadi karena adanya bonus demografi mendatang. Kita seharusnya sudah bersiap-siap utamanya dengan sumber daya manusia seperti tenaga kerja. Dalam hal ini penulis memberikan rekomendasi untuk masalah yang ada yaitu dengan mengubah mindset atau pola pikir masyarakat angkatan kerja untuk tidak bergantung mencari pekerjaan namun harus menjadi BOS dan membuat lapangan pekerjaan itu sendiri. Mindset ini merupakan mindset menjadi seorang entrepreneur, menjadi seorang pengusaha.
Cara mudah untuk membentuk mindset entrepreneur bisa dilakukan dengan beberapa tahapan berikut (bisnisumkm.com):
1.  Lihatlah potensi diri Anda. Buat daftar potensi yang Anda punya, kemudian kembangkan semua potensi yang ada, untuk menciptakan inovasi baru.
2.  Belajarlah dari kisah para pengusaha sukses yang sudah berhasil mengembangkan bisnisnya dari nol. Dengan begitu Anda akan terinspirasi dan termotivasi untuk mengikuti jejak kesuksesan mereka dalam menjalankan bisnis.
3.  Ketiga, ikuti pelatihan, seminar atau sharing bisnis yang bisa membantu Anda mengetahui segala kelebihan dan kekurangan sumber daya, yang bisa Anda jadikan sebagai prospek bisnis. Bila perlu, lakukan kunjungan langsung untuk melihat proses operasional sebuah usaha. Dan yang paling utama dari ketiga langkah tersebut adalah Anda harus tetap “Action!”, karena tanpa action, maka mimpi kita tentu tidaklah akan menjadi sebuah kenyataan.
Dalam tulisan ini penulis menawarkan gagasan dalam menghadapi bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2030 yaitu dengan mengubah pola pikir penduduk angkatan kerja menjadi memiliki pola pikir BOS atau seorang pengusaha (entrepreneur) yang bukan hanya pekerja namun juga mempekerjakan orang lain. Dengan berkembangnya pola pikir tersebut diharapkan akan terjadi peningkatan jumlah lapangan kerja, sehingga saat terjadinya bonus demografi diharapkan tidak akan terjadi ledakan pengangguran usia produktif.
Tercukupinya lapangan pekerjaan juga berkaitan erat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kata lain, terjadinya bonus demografi pada tahun 2030 benar-benar memunculkan suatu kesempatan (the window of opportunity) yang dapat dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi.

Sumber bacaan dan referensi:
Anonim. 2011. Mengubah mindset karyawan menjadi pengusaha. http://bisnisukm.com/mengubah-mindset-karyawan-menjadi-pengusaha.html. diakses pada 15 mei 2016 pukul 20.11 WIB.
BKKBN. 2013. Policy Brief: Menangkap Peluang Bonus Demografi. Direktorat Pemanduan Kebijakan Pengendalian Penduduk.
Jati, Wasisto Raharjo. 2015. Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela Bencana Di Indonesia?. Jurnal: Populasi, Volume 23 Nomor 1 2015.



Posted By Unknown16.27

PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA DAN UPAYA MENGHADAPI MASALAH KESEHATAN DI MASA DEPAN

Filled under:

Ragil Waseza. 2016. Pembangunan Kesehatan Di Indonesia dan Upaya Menghadapi Masalah Kesehatan di Masa Depan. Artikel Kependudukan. Nominasi Lomba Blog Kependudukan 2013 dari Provinsi Jawa Tengah.


(Sumber Gambar: www.gizikia.depkes.go.id)


Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut diselenggarakan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah dan berkesinambungan. Tujuan pembangunan nasional dapat tercapai apabila tersedia sumber daya manusia yang tangguh, madiri serta berkualitas. Tingkat pendidikan, pendapatan serta kesehatan penduduk Indonesia memang belum memuaskan yang dapat berpengaruh terhadap terhadap pembangunan.
Menyadari bahwa tercapainya tujuan pembangunan nasional merupakan kehendak seluruh rakyat Indoneisa dan dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan bebas pada era globalisasi, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan. Dalam hal ini peranan keberhasilan pembangunan kesehatan sangat menentukan. Penduduk yang sehat bukan saja akan menunjang keberhasilan program pendidikan, tetapi juga mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk.
Dari kesemuanya itu, menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang optimal dapat tercapai apabila pembangunan kesehatan masyarakat dapat terwujud. Keterkaitan keduanya sangat jelas dalam implementasi pelaksanaan pembangunan nasional. Pembangunan tidak mungkin terselenggara dengan baik tanpa tersedianya salah satu modal dasar, yaitu kesehatan masyarakatnya. Kesehatan masyarakat harus menjadi acuan dalam pembangunan baik sebelum berjalan maupun sedang berjalan. Derajat kesehatan berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi sosial dan lingkungannya.
Keberhasilan pembangunan dapat diukur dengan suatu indeks, yaitu indeks pembangunan manusia (IPM). IPM merupakan ukuran agregat yang dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Kualitas SDM Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan negara lain. Hal ini ditunjukkan oleh posisi IPM Indonesia yang berada pada urutan ke-108 dari 177 negara. Posisi IPM negara ASEAN lainnya lebih baik dibanding Indonesia, seperti Malaysia pada urutan ke-56, Filipina 77, Thailand 67, Singapura 22, dan Brunai 25 (UNDP, 2006).
Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dan merata untuk seluruh masyarakat merupakan keinginan yang menjadi landasan pelaksanaan pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II), yaitu mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin. Bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi merupakan salah satu ciri bangsa yang maju. Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya, di samping aspek spiritual, dan kepribadian. Untuk itu, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). 1993 mengamanatkan bahwa dalam PJP II pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang harus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat serta meningkatkan keadaan gizi dan membudayakan sikap hidup bersih dan sehat, didukung dengan pembangunan perumahan dan permukiman yang layak (Bappenas, 252).
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan, termasuk perbaikan gizi terutama melalui percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi, mendorong peran serta aktif masyarakat termasuk usaha dalam pembangunan kesehatan, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan bersih serta peduli terhadap lingkungannya, didukung oleh sarana kesehatan yang cukup memadai, termasuk industri farmasi dan peralatan kesehatan yang berkembang.
Peningkatan pelayanan kesehatan dasar secara lebih merata dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan gizi masyarakat, dan memperpanjang angka harapan hidup. Namun peningkatan mutu, pemerataan pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi masyarakat masih memerlukan perhatian yang lebih besar lagi. Pembangunan kesehatan memegang peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan manusia dalam setiap tahap kehidupan. Perkembangan kesehatan harus diperhatikan dalam keseluruhan proses kehidupannya, mulai dari dalam kandungan, bahkan jauh sebelumnya, yaitu dengan memperhatikan tingkat kesejahteraan para calon ibu, bayi, balita, usia sekolah, remaja, pemuda, usia produktif, sampai usia lanjut. Pembangunan kesehatan juga berperan penting untuk membangun manusia sebagai sumber daya pembangunan. Tingkat kesehatan dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja yang dapat meningkatkan kemampuan daya saing bangsa dalam dunia yang makin ketat persaingannya.
Pembangunan kesehatan di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu harus diakui relatif berhasil, terutama pembangunan infra struktur pelayanan kesehatan yang telah menyentuh sebagian besar wilayah kecamatan dan pedesaan (Utama, 2004: 1). Namun keberhasilan yang sudah dicapai belum dapat menuntaskan masalah kesehatan masyarakat secara menyeluruh, bahkan sebaliknya tantangan sektor kesehatan cenderung semakin meningkat.
Di dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004 disebutkan bahwa tujuan subsistem sumber daya manusia kesehatan adalah tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara mencukupi, terdistribusi secara adil serta termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Misnaniarti, 2010: 12).
Human Development Index (HDI) yang diterbitkan oleh United Nation Development Program setiap tahunnya, menempatkan Indonesia pada ranking yang ke 105 di antara 180 negara di dunia (1999). Saat ini Indonesia berada di ranking ke 110 di antara 162 negara (2002). Sedangkan Vietnam yang pada tahun 1995 berada di ranking ke 117, dan sekarang berada di ranking ke 95 di antara 162 negara 4 (Pasaribu, 2015: 2).
HDI merupakan tolak ukur masyarakat madani. Suatu masyarakat yang kita idam-idamkan bersama, yaitu tatanan masyarakat modern (masyarakat yang dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana hidupnya), masyarakat yang berbudaya, masyarakat yang beradab (sehat fisik, mental dan sosialnya), dan masyarakat yang beragama. Kesehatan merupakan dan harus dapat menjadi salah satu tolak ukur utama dari pembangunan dan kesejahteraan nasional suatu bangsa. Dengan demikian “kesehatan” harus menjadi “mid-stream” pembangunan berkelanjutan, yang terus menerus. Bukan hanya sebagai tolak ukur marginal/ sampingan dari pembangunan suatu bangsa dan negara.
Transisi epidemiologis, yang di tandai dengan semakin berkembangnya penyakit-penyakit tertentu yang belum dapat diatasi sepenuhnya (seperti TBC, DHF dan malaria) merupakan sebagian tantangan kesehatan di masa depan. Tantangan lainnya yang harus ditanggulangi antara lain meningkatnya masalah kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, masalah obat-obatan, dan perubahan dalam bidang ekonomi, kependudukan, pendidikan, sosial budaya, serta dampak globalisasi yang akan memberikan pergaruh terhadap perkembangan keadaan kesehatan masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas sangat diperlukan upaya agar masalah kesehatan di masa depan dapat ditanggulangi sehingga mencapai kualitas kesehatan masyarakat yang diinginkan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat meliputi pengembangan organisasi dan manajemen pelayanan kesehatan, pengembangan institusi pendidikan, peningkatan orientasi penelitian, dan peningkatan partisipasi masyarakat (Utama, 2004:1).
1.             Pengembangan Organisasi dan Manajemen
Pengembangan organisasi adalah suatu proses sadar dan terencana untuk mengembangkan kemampuan suatu organisasi sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat optimum prestasi yang diukur berdasarkan efisiensi. efektifitas dan kesehatan organisasi. Pengembangan manajemen ditekankan pada upaya memperbaiki pengetahuan dan keterampilan para manajer/pimpinan (McGill dalam Utama 2004: 2). Pengembangan organisasi mengacu kepada strategi reedukasi dan normatif yang ditujukan untuk mempengaruhi sistem kepercayaan, nilai, dan sikap dalam organisasi sehingga dapat beradaptasi lebih baik terhadap akselerasi laju perubahan teknologi lingkungan industri dan lingkungan masyarakat umumnya.
Pengembangan organisasi pelayanan kesehatan yang dilakukan harus dapat menghilangkan berbagai penyimpangan perilaku birokrasi kesehatan yang tidak bermoral, seperti tidak efisien, tidak efektif, korupsi, kolusi, dan mengabaikan kualitas pelayanan. Kegiatan pengembangan organisasi harus dilandasi oleh nilai moral, jika tidak birokrat kesehatan akan mudah tergelincir untuk melakukan kostitusi birokratis.
2.             Pengembangan Institusi Pendidikan
Upaya pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan kesehatan maupun pembangunan bidang lainnya yang terkait dengan kesehatan masyarakat antara lain dilakukan dengan meningkatkan kuantitas sumber daya manusia melalui perencanaan kebutuhan dan peningkatan kualitas melalui jalur pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan dapat terbentuk manusia yang berkualitas mempunyai kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan seluruh sektor kehidupon msyarakat. Dengan demikian pendidikan merupakan wahana dan sekaligus cara untuk membangun manusia baik sebagai insan maupun sebagai sumber daya pembangunan.
Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari organisasi pelayanan kesehatan, haruslah diantisipasi oleh institusi pendidikan kesehatan masyarakat. Artinya, jika organisasi pelayanan kesehatan telah bersiap untuk melaksanakan pengembangan organisasi dan manajemen sebagai antisipasi untuk menghadapi tantangan kesehatan masyarakat yang semakin kompleks; maka institusi pendidikan kesehatan masyarakat juga harus melakukan pengembangan organisasi dan manajemen untuk menghadapi tantangan kesehatan yang semakin kompleks.
Institusi pendidikan kesehatan masyarakat harus mampu menciptakan ilmuan dan praktisi kesehatan yang dapat menopang pengembangan organisasi dan manajemen pelajaran kesehatan dan dapat membantu memecahkan masalah kesehatan masyarakat. Upaya pengembangan institusi pendidikan dapat dilakukan berdasarkan segmen pendidikan, antara lain meliputi :
a.              Kurikulum Pendidikan. Kurikulum pendidikan harus selalu dikaji dan dievaluasi agar senantiasa relevan dengan perkembangan tantangan/masalah kesehatan masyaakat.
b.             Peningkatan Mutu Pengajaran. Mutu pengajaran dapat dilakukan melalui peningkatan jenjang pendidikan para staf pengajar (strata 2 dan 3) serta pengembangan metode proses belajar mengajar yang lebih efeisien dan efektif.
c.              Pengembangan Institusi. Sebagai antisipasi kebutuhan tenaga kesehatan yang berkualitas dalam jumlah besar. harus dilakukan dengan mengembangkan jenjang pendidikan yang dikelola oleh instansi upaya memenuhi kebutuhan tenaga. kesehatan pada level top dan middle management, maka insitusi pendidikan sebaiknya telah mematangkan rencana dan segera membuka pendidikan Strata 2 dan Srata 3. Adapun upaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan pada level lower management maka institusi pendidikan sebaiknya mematangkan rencana dan segera membuka pendidikan Diploma 3 dan 4.
d.             Pengembangan Kerjasama. Institusi pendidikan dengan organisasi pelayanan kesehatan segera mengembangkan kerjasama yang relatif permanen. Pengembangan kerjasama ini diharapkan dapat menciptakan sifat interdependen dan komplementer antar kedua organisasi, sehingga berbagai kebutuhan yang diperlukan untuk keberhasilan dan kelangsungan pembangunan kesehatan dapat dipenuhi.
3.             Peningkatan Orientasi Penelitian
Intensitas penelitian yang berorientasi keilmuan dan terapan harus dikembangkan dan dibudayakan dikalangan staf akademisi birokrat kesehatan dan dikalangan praktisi kesehatan. Kegiatan penelitian harus sungguh-sungguh dilakukan dengan berorientasi keilmuwan atau terapan yang jelas. Pembangunan kesehatan masa depan haruslah dilakukan dengan basis penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Institusi pendidikan dan organisasi pelayanan kesehatan harus dapat mendorong unit organisasi penelitiannya yang berkembang dan menjadikannya sebagai pusat rujukan utama dalam penyusunan perencanaan pembangunan kesehatan. Selaras meningkatnya kompleksitas masalah kesehatan, dimasa depan. dengan tingginya variasi faktor yang mempengaruhi maka peneletian kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekan lintas disiplin ilmu.
4.             Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan menempati posisi yang sangat penting. Pandangan bahwa masyarakat adalah semata-mata objek pembangunan harus diganti dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaku (subjek) pembangunan. Masyarakat harus ikut serta dalam proses pembangunan sesuai kondisinya. Situasi dan kondisi masyarakatlah yang seharusnya menentukan secara objektif tingkat posisi partisipasinya dalam proses pembangunan, bukan keputusan sepihak birokrasi yang selalu cenderung melupakan potensi masyarakat yang pada akhirnya sering menempatkan masyarakat sebagai objek pembangunan.
Beberapa program pemerintah yang berorientasi pada upaya peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam kesehatan yang dilaksanakan saat iniseperti Program Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM) dengan melibatkan LSM Perguruan Tinggi sebagai pembina Program JPKM dan pemberdayaan pesantren sebagai mitra kerja puskesmas haruslah dilaksanakn dengan benar. Pengawasan dan evaluasi harus dilakukan secara objektif dan efektif, terutama diarahkan kepada birokrat pelaksana. Tindakan ini menjadi sangat penting agar tujuan program dapat tercapai sesuai yang diinginkan.
Perhatian penuh pada pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia penting diberikan demi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dapat tercipta melalui peningkatan produktivitas masyarakat yang akan mempermudah pencapaian tujuan nasional dalam pembangunan bangsa.

Sumber Referensi:

Riada Marenny Pasaribu. 2015. Solusi dalam Mengatasi Masalah Pembangunan Kesehatan Masyarakat Di Indonesia. Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No.2 April 2015

Misnaniarti. 2010. Aspek Penting Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Era Desentralisasi. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Volume 1, No.1 Maret 2010

United Nation Development Programme (UNDP). 2006. Human Development Report 2006. New York: Oxford University Press

Utama, Surya. 2004. Upaya Menghadapi Masalah Kesehatan di Masa Depan. USU Digital Library


Bappenas Bab 35 Kesehatan. Diunduh dari: www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/8737/1731/

Posted By Unknown16.21

Kamis, 17 Maret 2016

PENDUDUK LANSIA INDONESIA: BONUS DEMOGRAFI KEDUA?

Filled under:

PENDUDUK LANSIA INDONESIA: BONUS DEMOGRAFI KEDUA?
Penyusun Artikel:
Ragil Waseza. 2016. Penduduk Lansia Indonesia: Bonus Demografi Kedua?. Artikel Kependudukan, Nominasi Lomba Blog Kependudukan Tahun 2013 dari Provinsi Jawa Tengah.
(Gambar ilustrasi lansia, sumber: google.com/health.liputan6.com//)
Oleh banyak pihak, Indonesia disebut sedang menikmati bonus demografi ketika jumlah penduduk dengan usia produktif sangat besar. Sementara penduduk usia mudanya semakin mengecil dan penduduk usia lanjutnya (lansia) belum membesar. Pemerintah sendiri mengklaim bonus demografi ini sudah dinikmati sejak 2012, dimana rasio ketergantungan penduduk di bawah 50% per 100 penduduk usia produktif. Dengan kekuatan tenaga kerja produktifnya, kedepannya bangsa Indonesia diharapkan mampu menguasai ekonomi dunia. Puncak bonus demografi yang dinikmati Indonesia, diperkirakan terjadi tahun 2028-2031. Setelah itu, jumlah penduduk lansianya akan membesar (Haryanto. 2015:1).
Penduduk lanjut usia merupakan satu komposisi penduduk yang perlu segera mendapat perhatian, karena secara demografis pertumbuhan penduduk lanjut usia diperkirakan semakin meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan keberhasilan program keluarga berencana serta peningkatan di bidang kesehatan masyarakat terutama kesehatan bayi dan ibu melahirkan. Persoalan yang saat ini sangat aktual di Indonesia adalah meningkatnya jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia dikarenakan harapan hidup pada waktu lahir penduduk Indonesia semakin meningkat, tentu hal ini merupakan tantangan cukup berat bagi pemerintah dan masyarakat.
Saat ini jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbanyak di dunia. Lansia adalah penduduk yang berusia di atas 60 tahun. Diprediksi seiring peningkatan tingkat kesejahteraan, Indonesia akan menjadi jawara dalam hal jumlah lansia tahun 2025 mendatang, yakni berjumlah 36 juta jiwa. Mengutip pernyataan Arya G. R. dari Persatuan Gerontologi Medik Indonesia, berdasarkan sensus penduduk 2010 jumlah lanjut usia 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen penduduk. Tahun 2014 lalu, jumlah lansia mencapai 18,78 juta orang lebih.
Dikutip dari :

Pengertian lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.

Menurut Haryanto (2015:1) : Jumlah penduduk lansia yang membesar ternyata berpotensi memberikan banyak benefit jika tangguh, sehat dan tetap produktif. Penduduk lansia tersebut bahkan diprediksi menjadi bonus demografi kedua bagi Indonesia. Namun demikian, menjadikan penduduk lansia tetap sehat, tangguh dan produktif tentu membutuhkan banyak persiapan serta dukungan dari semua pihak. Persoalan kualitas gizi, sanitasi sertadukungan lingkungan yang sehat kemudian menjadi beberapa hal prioritas yang wajib diwujudkan, samahalnya dengan penyiapan kualitas penduduk usia produktif.
Sebagai wujud kepedulian dan penghargaan bagi warga negara yang sudah lansia Presiden Soeharto mencanangkan Hari Lansia Nasional di Semarang pada tanggal 29 Mei 1996 sebagai bentuk penghormatan kepada Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, yang lahir pada tahun 1879. Bagaimana efek peringatan Hari Lansia terhadap kehidupan sehari-hari? Perlahan tapi pasti, masyarakat kota ‘kembali’ dimotivasi oleh kepedulian terhadap para lansia. Hal ini dapat dilihat dari mulai tersedianya tempat khusus untuk para lansia, ibu hamil dan penyandang disabilitas di tempat-tempat umum seperti halte bus. Peringatan hari Lansia memiliki tujuan untuk mengingatkan kepada masyarakat luas tentang pentingnya memuliakan lansia serta bahwa lansia bukan menjadi beban keluarga, namun mereka adalah bagian keluarga yang memiliki hak untuk menikmati kebahagiaan, terjaga kesehatannya, dan masih tetap bisa produktif sesuai dengan kemampuan fisiknya.
Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi. Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek yaitu fisik, psikologik, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa emosi labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia adalah masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari keadaan sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan) menjadi kemunduran.

Lansia juga identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai macam penyakit. Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya tergantung dari penyakit yang diderita. Semakin banyak penyakit pada lansia, semakin banyak jenis obat yang diperlukan. Banyaknya jenis obat akan menimbulkan masalah antara lain kemungkinan memerlukan ketaatan atau menimbulkan kebingungan dalam menggunakan atau cara minum obat. Disamping itu dapat meningkatkan resiko efek samping obat atau interaksi obat.
Berikut adalah hal-hal yang sering dialami oleh penduduk lanjut usia, diantaranya :
1.    Berhubungan dengan kesehatan lansia ( fisik) :
Orang yang telah lanjut usia identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai macam penyakit. Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya tergantung dari penyakit yang diderita. Pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan lansia, misalnya pemberian asupan gizi yang cukup serta mengandung serat dalam jumlah yang besar yang bersumber pada buah dan sayur yang dikonsumsi dengan jumlah bertahap. Misalnya, minum air putih 1.5 – 2 liter secara teratur, olah raga teratur dan sesuai dengan kapasitas kemampuanya, istirahat dan tidur yang cukup, minum suplemen gizi yang diperlukan, memeriksa kesehatan secara teratur.

2.    Berhubungan dengan masalah intelektual
Sulit untuk mengingat atau pikun dapat diatasi pada saat muda dengan hidup sehat, yaitu dengan cara :
a.  Jadikan olahraga sebagai kebutuhan dan rutinitas harian.
b.  Hendaknya membiasakan diri dengan tidur yang cukup.
c.   Berhati-hatilah dengan Suplemen penambah daya ingat.
d.  Kendalikan rasa stress yang menyelimuti pikiran.
e.  Segera obati depresi yang dialami.
f.    Hendaknya selalu mengawasi obat-obatan yang dikonsumsi.
g.  Cobalah dengan melakukan permainan yang berhubungan dengan daya ingat.
h.  Jangan pernah berhenti untuk terus belajar dan mengasah kemampuan otak
i.    Hendaknya berusaha meningkatkan konsentrasi dan memfokuskan pikiran.
j.    Tumbuhkan rasa optimis dalam diri.
3.    Berhubungan dengan Emosi :
a.    Hindari stres, hidup yang penuh tekanan akan merusak kesehatan, merusak tubuh dan wajahpun menjadi nampak semakin tua. Stres juga dapat menyebabkan atau memicu berbagai penyakit seperti stroke, asma, darah tinggi, penyakit jantung dan lain-lain.
b.    Tersenyum dan tertawa sangat baik dilakukan, karena akan memperbaiki mental dan fisik secara alami. Penampilan kita juga akan tampak lebih menarik dan lebih disukai orang lain. Tertawa membantu memandang hidup dengan positif dan juga terbukti memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Tertawa juga ampuh untuk mengendalikan emosi kita yang tinggi dan juga untuk melemaskan otak kita dari kelelahan.
c.    Rekreasi untuk menghilangkan kelelahan setelah beraktivitas selama seminggu maka dilakukanlah rekreasi. Rekreasi tidak harus mahal, dapat disesuaikan denga kondisi serta kemampuan.
d.    Hubungan antar sesama yang sehat, pertahankan hubungan yang baik dengan keluarga dan teman-teman, karena hidup sehat bukan hanya sehat jasmani dan rohani tetapi juga harus sehat sosial. Dengan adanya hubungan yang baik dengan keluarga dan teman-teman dapat membuat hidup lebih berarti yang selanjutnya akan mendorong seseorang untuk menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya karena ingin lebih lama menikmati kebersamaan dengan orang-orang yang dicintai dan disayangi.
4.    Berhubungan dengan Spiritual
a.    Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyerahkan diri kita sepenuhnya kepadaNya. Hal ini akan menyebabkan jiwa dan pikiran menjadi tenang.
b.    Intropeksi terhadap hal-hal yang telah kita lakukan, serta lebih banyak beribadah
c.    Belajar secara rutin dengan cara membaca kitab suci secara teratur.
Dikutip dari :

Dengan berbagai solusi di atas, hal penting yang dapat disimpulkan adalah bagaimana menjadikan penduduk usia lanjut menjadi sehat. Sehatnya penduduk usia lanjut bukan tidak mungkin menjadikan mereka sebagai penduduk yang dianggap usia non produktif tetapi masih aktif dan produktif.
Masyarakat khususnya keluarga yang memiliki anggota keluarga lanjut usia (lansia), hendaknya memberikan ruang berkarya bagi para lanjut usia. Mereka idealnya harus tetap produktif. Gaya hidup aktif dan produktif akan mengurangi risiko terserang berbagai penyakit di usia tua. Potensi lansia itu juga diharapkan dapat terwadahi dalam kelembagaan masyarakat sehingga mereka dapat beraktivitas, berinovasi dan kreatif untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Peningkatan kesejahteraan lansia secara mandiri inilah yang merupakan bonus demografi kedua.

Sumber Bacaan dan Referensi:

____. 2012. Permasalahan Lanjut Usia (Lansia).http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/326-permasalahan-lanjut-usia-lansia.html. Diakses pada Rabu, 9 Maret 2016 pukul 21.22 WIB.

Dewi, Yulia Kusuma. 2012. Makalah Perkembangan Lansia. https://yuliakusumadewi.wordpress.com/2012/03/12/makalah-perkembangan-lansia/. Diakses pada Rabu, 9 Maret 2016 pukul 19.01 WIB.

Haryanto, Joko Tri. 2015. Penduduk Lansia dan Bonus Demografi Kedua. Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.

Sutriyanto, Eko. 2015.  Tahun 2025 Indonesia Diprediksi Memiliki Jumlah Lansia Terbesar di Dunia.http://www.tribunnews.com/kesehatan/2015/05/27/tahun-2025-indonesia-diprediksi-memiliki-jumlah-lansia-terbesar-di-dunia. Diakses pada Rabu, 9 Maret 2016 pukul 21.10 WIB.



Posted By Unknown00.00

Selasa, 08 Maret 2016

URBANISASI DAN UPAYA MENGATASINYA

Filled under:

URBANISASI DAN UPAYA MENGATASINYA
Penyusun Artikel:
Ragil Waseza. 2016. Urbanisasi Dan Upaya Mengatasinya. Artikel Kependudukan, Nominasi Lomba Blog Kependudukan 2013 dari Provinsi Jawa Tengah.

Gambar Ilustrasi Urbanisasi (Sumber: http://sp.beritasatu.com/media/images/original/20120824112418895.jpg)

Urbanisasi tidak semata-mata dipandang sebagai fenomena kependudukan, namun lebih dari itu, urbanisasi harus dipandang sebagai fenomena politik, sosial, budaya dan ekonomi. Dari berbagai studi menunjukkan semakin maju tingkat perekonomian suatu daerah, semakin tinggi tingkat urbanisasinya. Adam (2010:3) menjelaskan urbanisasi merupakan fenomena alamiah yang terjadi sejalan dengan perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah. Hal yang harus diperhatikan atau dihindari dalam kaitannya dengan urbanisasi adalah adanya konsentrasi penduduk yang tinggi atau berlebihan di suatu wilayah sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan aglomerasi atau primacy yaitu pengumpulan atau pemusatan dalam lokasi atau kawasan tertentu.
Perpindahan ke perkotaan mempunyai dua harapan, yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Oleh karena itu mobilitas desa-kota mencerminkan ketidakseimbangan antara kedua daerah tersebut. Dengan demikian arah pergerakan penduduk cenderung ke kota yang memiliki kekuatan relatif besar sehingga diharapkan dapat memenuhi pamrih ekonomi mereka.
Secara umum urbanisasi biasanya didefinisikan sebagai perpindahan penduduk desa ke kota. Di dalam teori migrasi klasik, perpindahan ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor pendorong (push factor) dari daerah asal dan faktor penarik (pull factor) dari daerah tujuan. Perpindahan ini dikarenakan nilai kefaedahan dari dua wilayah yang berbeda (Adam, 2010:4).
Faktor pendorong yang dimaksud adalah: (1) semakin terbatasnya lapangan pekerjaan di perdesaan, (2) kemiskinan di desa akibat bertambahnya jumlah penduduk, (3) transportasi desa kota yang semakin lancar, (4) bertambahnya kemampuan membaca dan menulis penduduk di perdesaan, dan (5) tata cara dan adat istiadat yang kadang kadang dianggap sebagai “beban” oleh masyarakat desa, sedangkan yang termasuk dalam faktor penarik adalah: (1) kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasi di perkotaan, (2) tingkat upah yang lebih tinggi, (3) lebih banyak kesempatan untuk maju (differensiasi pekerjaan dan pendidikan dalam segala bidang), (4) tersedianya barang-barang kebutuhan yang lebih lengkap, (5) terdapatnya berbagai macam kesempatan untuk rekreasi dan pemafaatan waktu luang, seperti bioskop dan taman hiburan, serta (6) bagi orang orang atau kelompok tertentu memberi kesempatan  untuk menghindarkan diri dari kontrol yang ketat di desa (Sriyanto, 2012: http://wahyusriyantopendidikanekonomi.blogspot.co.id/).
Salim (2006) dalam Adam (2010:6) mengemukakan selama ini Indonesia menerapkan kebijaksanaan urbanisasi melalui dua pendekatan. Pertama, mengembangkan daerah-daerah pedesaan agar lebih maju dengan memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan yang dikenal dengan “urbanisasi pedesaan”. Pendekatan ini berupaya untuk “mempercepat” tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat non-ekonomi. Perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan akan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian daerah-daerah pedesaan didorong pertumbuhannya agar memiliki ciri-ciri kekotaan. Penduduk desa tersebut dapat dikategorikan sebagai "orang kota" walaupun sebenarnya mereka masih tinggal di suatu daerah pedesaan. Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang dikenal dengan “daerah penyangga pusat pertumbuhan”. Pendekatan kedua ini mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan.
Berdasarkan kedua kebijakan diatas jelas bahwa pola pengembangan perkotaan masih didasarkan pada pengembangan ekonomi semata. Padahal pengembangan ekonomi tidak merata dan hal tersebut yang mengakibatkan terpusatnya penduduk pada wilayah tertentu namun tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan. Adanya disparitas kesejahteraan telah mendorong masyarakat melakukan urbanisasi dan mobilitas ke sektor yang berpotensial dalam memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Perpindahan penduduk tersebut didasari keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota dengan segala kelengkapan fasilitas, teknologi, dan aksebilitas yang ada diperkotaan.
Urbanisasi bukan semata-mata berkaitan dengan masalah demografi tetapi juga berkaitan dengan aktivitas ekonomi daerah asal ataupun daerah tujuan urbanisasi. Bagi daerah asal, urbanisasi dapat memberikan dampak positif berupa mengurangi tekanan pengangguran. Bagi daerah tujuan dalam batas-batas tertentu urbanisasi dapat mendorong pembangunan, artinya penduduk yang pindah karena motif ekonomi adalah sebagai penyedia angkatan kerja. Keberadaan angkatan kerja ini berpotensi menggerakkan aktivitas perekonomian setempat, tetapi jika urbanisasi tersebut tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kekumuhan, kemiskinan, pengangguran, dan tindak kejahatan. Beberapa akibat negatif tersebut akan meningkat pada masalah kriminalitas yang bertambah dan turunnya tingkat kesejahteraan. Menururt Harahap (2013:37) Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota di Indonesia, urbanisasi dapat memicu terjadinya “over urbanisasi” yaitu dimana prosentase penduduk kota yang sangat besar yang tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi negara. Selain itu juga dapat terjadi “under ruralisasi” yaitu jumlah penduduk di pedesaan terlalu kecil bagi tingkat dan cara produksi yang ada.
Dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi di Indonesia adalah (Harahap, 2013:39) :
1.    semakin berkurangnya lahan kosong di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk kota yang begitu pesat, sudah sulit diikuti kemampuan daya dukung kotanya. Saat ini, lahan kosong di daerah perkotaan sangat jarang ditemui. Bahkan, lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pun sudah tidak ada lagi. Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan telah banyak dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman liar, perdagangan, dan perindustrian yang legal maupun ilegal. Bangunan-bangunan yang didirikan untuk perdagangan maupun perindustrian umumnya dimiliki oleh warga pendatang.
2.    Menambah polusi di daerah perkotaan dan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Masyarakat yang melakukan urbanisasi baik dengan tujuan mencari pekerjaan maupun untuk memperoleh pendidikan, umumnya memiliki kendaraan. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang membanjiri kota yang terus menerus, menimbulkan berbagai polusi atau pemcemaran seperti polusi udara dan kebisingan atau polusi suara bagi telinga manusia, serta dapat menimbulkan kemacetan. Ekologi di daerah kota tidak lagi terdapat keseimbangan yang dapat menjaga keharmonisan lingkungan perkotaan.
3.    Penyebab bencana alam. Warga pendatang yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendirikan bangunan liar baik untuk pemukiman maupun lahan berdagang mereka. Hal ini tentunya akan membuat lingkungan tersebut yang seharusnya bermanfaat untuk menyerap air hujan justru menjadi penyebab terjadinya banjir.
4.    Merusak tata kota. Pada negara berkembang, kota-kotanya belum siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi warga pendatang tersebut kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri. Akibatnya timbul perkampungan kumuh dan liar di tanah-tanah pemerintah.
Melihat akibat sosial yang di timbulkan urbanisasi sangat kompleks, maka untuk menaggulangi urbanisai tidak bisa dilakukan secara sektoral, tetapi harus lintas sektor  yang memerlukan perencanaan yang matang dalam waktu yang panjang. Cara menanggulangi urbanisasi adalah dengan cara sebagai berikut (Wihandyka, 2014: http://geriwihandyka.blogspot.co.id/2014/11/masyarakat-pedesaan-dan-perkotaan-serta.html) :
1.    Lokal jangka pendek
Lokal jangka pendek di bagi lagi menjadi 5 cara yaitu :
a.  Perbaikan perekonomian pedesaan
b.  Pembersihan pemukiman kumuh
c.   Perbaikan pemukiman kumuh
d.  Memperluas lapangan kerja
e.  Membuka dam melaksanakan proyek perkotaan
2.    Lokal jangka panjang
Salah satu cara untuk menanggulangi urbanisasi yang besar adalah dengan membuat master plan(rencana induk) kota yaitu suatu rumusan tindakan-tindakan yand dapat menjaga agar sejumlah faktor-faktor yang ada di di kota seperti pembangunan perumahan,lapangan kerja,taman kota,tempat rekreasi dan lain sebagainya dapat tumbuh secara bersamaan dan imbang. Master plan ini berjangka waktu yang panjang, dan setiap 5 atau 10 tahun sekali harus di revisi supaya menyesuaikan dengan keadaan.
3.    Nasional jangka pendek
Selain cara di atas (local / sektoral) ada pula cara lain yaitu dengan cara nasional.Pemerintah dapat membuat peraturan perundang-undangan mengenail masalah migrasi.
4.    Nasional jangka panjang
Di samping nasional jangka pendek, dapat juga dipakai pendekatan penanganan jangka panjang yang meliputi:
a.  Pemencaran pembangunan kota dengan membangun kota-kota baru.
b.  Membangun daerah dengan memusatkan perhatian pada pengembangan kota-kota sedang dan kecil sebagai pusat pengembangan (growth centries) wilayah yang terutama bercorak pedesaan. Contoh : di bangunnya  Kota Satelit Bumi Serpong Damai (BSD) di Jakarta.
c.   Mengendalikan industri di kota-kota besar, di samping mengendalikan urbanisasi, juga dapat mengendalikan pencemaran.


Sumber Bacaan dan Referensi:

Adam, Felecia P. 2010. Tren Urbanisasi di Indonesia. Jurnal PIRAMIDA: Fakultas Pertanian Universitas Pattimura.

Wihandyka, Geri. 2014. Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan serta Urbanisasi. http://geriwihandyka.blogspot.co.id/2014/11/masyarakat-pedesaan-dan-perkotaan-serta.html. Diakses pada tanggal 7 februari 2013 pukul 10.15 WIB.

Harahap, Fitri Ramadhani. 2013. Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota di Indonesia. Jurnal Society, Vol. I, No.1.

Sriyanto, Wahyu. 2012. Makalah Pendidikan Ilmu Sosial (Urbanisasi).  http://wahyusriyantopendidikanekonomi.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 7 Februari 2016 pukul 15.40 WIB.

Posted By Unknown19.29
Diberdayakan oleh Blogger.